News & Updates

ringkasan baru

hasil ringkasan dari teman UKKI, silahkan download disini yaaaa..


UKKI UNIPA SURABAYA

Materi Kajian FORKA Selasa

Sobat. Buat kalian yang tidak bisa hadir di kajian UKKI pada selasa,... , sobat bisa download materinya disini;

"Sales Magic.ppt"

karleb ukki

silhkan didownload disini

Batasan Aurat Wanita:Mana Aja sih?


Aurat? Sapa hayo yang gak tau aurat?
Nah, sobat UKKImuslimah, kita
Aurat bagi wanita di hadapan lelaki asing, yang bukan mahram-nya, adalah seluruh badannya. Ini diambil dari nash al-Quran yang menyatakan:
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
Hendaknya wanita tidak menampakkan kecantikan (perhiasan)-nya kecuali yang boleh tampak dari dirinya (QS an-Nur [24]: 31).
Frasa “yang boleh tampak dari dirinya” adalah wajah dan kedua telapak tangan. Inilah batasan aurat di hadapan lelaki asing (bukan mahram). Namun, aurat wanita di hadapan lelaki yang merupakan kerabatnya, atau sesama kaum wanita, adalah saw’atani (dua kemaluan depan dan belakang), atau qubul (kemaluan depan) dan dubur (kemaluan belakang). Dalilnya adalah firman Allah SWT:
وَلاَ يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلاَّلاَبَائِهِنَّ
Hendaknya wanita tidak menampakkan kecantikan (perhiasan)-nya kecuali kepada suami-suami mereka atau bapak-bapak mereka (QS an-Nur [24]: 31).
Kemudian Allah SWT berfirman:

…dan kepada kaum perempuan (sesama) mereka (QS an-Nur [24]: 31).


Sekarang tahu dong tentang aurat. Hukum ini berlaku bagi yang sudah baligh. Ciri-ciri muslimah haid. Untuk lebih tahu apa itu had, sobat bisa klik di penjelasan haid.

ISTIHADHAH

Istihadhah adalah darah yang keluar di luar kebiasaan, yaitu tidak pada masa haid dan bukan pula karena melahirkan, dan umumnya darah ini keluar ketika sakit, sehingga sering disebut sebagai darah penyakit. Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengatakan bahwa istihadhah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita yang bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.
Sifat darah istihadhah ini umumnya berwarna merah segar seperti darah pada umumnya, encer, dan tidak berbau. Darah ini tidak diketahui batasannya, dan ia hanya akan berhenti setelah keadaan normal atau darahnya mengering.
Wanita yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti wanita suci, sehingga ia tetap harus shalat, puasa, dan boleh berhubungan intim dengan suami.
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha :
 جَاءَتَ فاَطِمَةُ بِنْتُ اَبِى حُبَيْشٍ اِلَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَلَتْ ياَرَسُوْلُ اللهِ اِنِّى امْرَاَةٌ اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ، اَفَاَدَعُ الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ ياَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ، اِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَاِذَااَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِى الصَّلاَةَ، فَاِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فاَغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى
Fatimah binti Abi Hubaisy telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wania yang mengalami istihadhah, sehingga aku tidak bisa suci. Haruskah aku meninggalkan shalat?” Maka jawab Rasulullah SAW: “Tidak, sesungguhnya itu (berasal dari) sebuah otot, dan bukan haid. Jadi, apabila haid itu datang, maka tinggalkanlah shalat. Lalu apabila ukuran waktunya telah habis, maka cucilah darah dari tubuhmu lalu shalatlah.”
Wallahu a’lam. 
Diambil dari : http://www.fiqihwanita.com/pengertian-haid-nifas-dan-istihadhah/

NIFAS

Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah seorang wanita melahirkan. Darah ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah pasti, yaitu karena adanya proses persalinan. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa darah nifas itu adalah darah yang keluar karena persalinan, baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun sebelum dan sesudah persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar dengan rasa sakit dan disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas, sedangkan bila tidak ada proses persalinan, maka itu bukan nifas.
Batasan nifas : 
Tidak ada batas minimal masa nifas, jika kurang dari 40 hari darah tersebut berhenti maka seorang wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan dihalalkan atasnya apa-apa yang dihalalkan bagi wanita yang suci. Adapun batasan maksimalnya, para ulama berbeda pendapat tentangnya.
  • Ulama Syafi’iyyah mayoritas berpendapat bahwa umumnya masa nifas adalah 40 hari sesuai dengan kebiasaan wanita pada umumnya, namun batas maksimalnya adalah 60 hari. 
  • Mayoritas Sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Aisyah, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhum dan para Ulama seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, At-Tirmizi, Ibnu Taimiyah rahimahumullah bersepakat bahwa batas maksimal keluarnya darah nifas adalah 40 hari, berdasarkan hadits Ummu Salamah dia berkata, “Para wanita yang nifas di zaman Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-, mereka duduk (tidak shalat) setelah nifas mereka selama 40 hari atau 40 malam.” (HR. Abu Daud no. 307, At-Tirmizi no. 139 dan Ibnu Majah no. 648). Hadits ini diperselisihkan derajat kehasanannya. Namun, Syaikh Albani rahimahullah menilai hadits ini Hasan Shahih. Wallahu a’lam.
  • Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal masa nifas, bahkan jika lebih dari 50 atau 60 hari pun masih dihukumi nifas. Namun, pendapat ini tidak masyhur dan tidak didasari oleh dalil yang shahih dan jelas.
Wanita yang nifas juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dilakukan oleh wanita haid, yaitu tidak boleh shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf, dan berhubungan intim dengan suaminya pada kemaluannya. Namun ia juga diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.
Tidak banyak catatan yang membahas perbedaan sifat darah nifas dengan darah haid. Namun, berdasarkan pengalaman dan pengakuan beberapa responden, umumnya darah nifas ini lebih banyak dan lebih deras keluarnya daripada darah haid, warnanya tidak terlalu hitam, kekentalan hampir sama dengan darah haid, namun baunya lebih kuat daripada darah haid.
diambil dari : http://www.fiqihwanita.com/pengertian-haid-nifas-dan-istihadhah/

Tiga Tingkatan Takwa

Sobat muslim, tentu kita semua sangat ingin menjadi hamba Allah yang bertakwa. Apa itu ciri-ciri takwa? berikut ciri-ciri hamba yang bertakwa yang disampaikan oleh Ibnu Qayyim rahimahullah.

قَالَ اِبْنُ القَيِّمُ رَحِمَهُ اللهُ التَّقْوَى ثَلاَثُ مَرَاتِبٍ: إِحْدَاهَا: حِمْيَةُ القَلْبِ وَالجَوَارِحِ عَنِ الآثَامِ وَالمُحَرَّمَاتِ. الثَّانِيَةِ: حِمْيَتُهَا عَنِ المَكْرُوْهَاتِ. الثَّالِثَةُ: الحِمْيَةُ عَنِ الفُضُولِ وَمَا لاَ يَعْنِي.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: Takwa itu tiga tingkatan. Pertama, menjaga hati dan anggota tubuh dari dosa dan perkara-perkara haram. Kedua, menjaga hati dan anggota tubuh dari perkara-perkara makruh. Ketiga, menjaga hati dan anggota tubuh dari berlebihan dan perkara-perkara yang tidak berguna.
Semoga kita menjadi hamba Allah yang bertakwa. Amiin.

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 11/11/2013.

Adakah Batasan Bagi Laba Perdagangan?




Tanya:
Ustadz, apakah dalam syariah Islam ada batas maksimal laba dalam perdagangan, misalnya 30 persen atau 100 persen?



Jawab :
Yang dimaksud dengan “laba” (ar ribhu, profit) adalah tambahan dana yang diperoleh sebagai kelebihan dari beban biaya produksi atau modal. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 168). Secara khusus “laba” dalam perdagangan (jual beli) adalah tambahan yang merupakan perbedaan antara harga pembelian barang dengan harga jualnya. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 70).
Menurut kami, tidak ada batasan laba maksimal yang ditetapkan syariah Islam bagi seorang penjual, selama aktivitas perdagangannya tidak disertai dengan hal-hal yang haram. Seperti ghaban fahisy (menjual dengan harga jauh lebih tinggi atau jauh lebih rendah dari harga pasar), ihtikar (menimbun), ghisy (menipu), dharar (menimbulkan bahaya), tadlis (menyembunyikan cacat barang dagangan), dan sebagainya. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 72-74; Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 191).
Dalil tidak adanya batasan laba maksimal yang tertentu, adalah dalil-dalil tentang perdagangan yang bermakna mutlak, yaitu tanpa ada ketentuan batas maksimal laba yang tak boleh dilampaui. Misalnya firman Allah SWT (artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan (tijarah) yang berlaku dengan suka sama suka (saling ridha) di antara kamu.” (TQS An Nisaa` [4] : 29).
Ayat ini menunjukkan bolehnya perdagangan (tijarah), yang sekaligus menunjukkan juga bolehnya mencari laba (ar ribhu). Sebab pengertian perdagangan (tijarah) adalah aktivitas jual beli dengan tujuan memperoleh laba (al bai’ wa al syira` li gharadh ar ribhi). (Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/31; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 10/151; Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqaha`, hlm. 26).
Bolehnya mencari laba berdasarkan ayat di atas, dari segi berapa besarnya laba, bersifat mutlak. Artinya, tidak ada batas maksimal laba yang ditetapkan syariah. Sebab tidak ada dalil syar’i yang membatasi kemutlakan ayat tersebut. Dalam hal ini kaidah ushul fikih menetapkan : al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid. (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya pembatasan). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, 1/208).
Sebagian ulama mazhab Maliki, seperti Ibnu Wahab, mengatakan bahwa maksimal laba dalam perdagangan adalah sepertiga (tsuluts), dengan dalil sabda Rasulullah SAW bahwa batas maksimal harta yang dapat diwasiatkan adalah sepertiga (tsuluts). (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 75; Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/33).
Pendapat ini tidak dapat diterima, dengan dua alasan. Pertama, sabda Rasulullah SAW yang menyebut batas maksimal sepertiga (tsuluts) tersebut tidak dapat menjadi taqyid (pembatasan) terhadap kemutlakan ayat di atas (QS An Nisaa` : 29). Sebab sabda Rasulullah SAW itu topiknya terkait dengan wasiat, sementara ayat di atas topiknya terkait dengan perdagangan. Jadi konteksnya berbeda.
Kedua, penetapan batas maksimal laba sepertiga (tsuluts) bertentangan dengan nash-nash syariah yang membolehkan laba lebih dari sepertiga. Dari ’Urwah RA, bahwa Nabi SAW pernah memberikan kepadanya uang 1 dinar untuk membelikan seekor kambing untuk Nabi SAW. Kemudian Urwah membeli dua ekor kambing dengan uang itu, lalu Urwah menjual salah satu dari dua ekor kambing itu seharga 1 dinar. Urwah kemudian datang kepada Nabi SAW dengan membawa 1 ekor kambing dan uang 1 dinar, Nabi SAW pun mendoakan keberkahan bagi Urwah. (HR Bukhari, no 3642). Hadits ini membolehkan laba 100 persen, karena Urwah awalnya membeli 1 kambing dengan harga ½ (setengah) dinar, lalu menjualnya kembali dengan harga 1 dinar. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 76).
Kesimpulannya, tidak ada batasan laba maksimal yang ditetapkan syariah Islam bagi seorang penjual, selama aktivitas perdagangannya tidak disertai dengan hal-hal yang haram. (Yusuf Qaradhawi, Hal li Ar Ribhi Had A’la?, hlm. 74; Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, 5/30). Wallahu a’lam.
Diambil dari mediaumat.com Diasuh oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi